Selamat datang di blog kami, semoga bermanfaat***Alloh berfirman :‎"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahuinya" (Al-Baqarah: 42)***

Minggu, 23 Januari 2011

Kebobrokan Tafsir Hermeneutika

Teori hermeneutika yang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen, dipakai oleh sebagian  ‘intelektual’ sekarang sebagai metode penafsiran yg baru terhadap Al Qur’an, walhasil lahirlah hal-hal nyleneh seperti mereka membolehkan riba asal tidak berlipat-lipat, membolehkan khamr bahkan sampai homoseksual. Tulisan ini mengurai kekeliruan metode tersebut dari akarnya.
***
Oleh Hafidz Abdurrahman
Akar Masalah Hermeneutika
Istilah hermeneutika, dipinjam dari bahasa Inggris, hermeneutics; kata yang sama sebelumnya dipinjam dari bahasa Yunani Kuno (Greek), hermeneutikos. Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles dalam karyanya, Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan De Interpretatione, dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Farabi (w. 339 H/950 M), telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle tersebut dalam bahasa Arab dengan judul, Fi al-‘Ibârah.
Aristoteles sendiri, ketika menggunakan kata hermeneias, tidak mengunakannya dengan konotasi istilah, seperti yang berkembang pada saat ini. Hermeneias yang dikemukakannya, menyusul karyanya, Categorias, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkaitan dengan gramatika. Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan. Secara harfiah, barangkali terjemahan al-Farabi lebih pas ketika hermeneuias diterjemahkan dengan ‘ibârah, yang mempunyai konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna tertentu. Inilah barangkali, makna harfiah hermeneutika yang lebih tepat. Pada awalnya, hemeneutika hanya digunakan dalam konteks harfiahnya saja.
Perubahan makna hermeneutika dari makna bahasa ke dalam makna konvensional (istilah) pada dasarnya merupakan perkembangan yang terjadi kemudian. Perubahan makna ini disepakati oleh berbagai literatur perkamusan, yang dimulai sejak para teolog Yahudi dan Kristen berusaha mengevaluasi kembali teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah disertasi doktoral mengenai hermeneutika[1] menyatakan:
Originally, the term ‘Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermeneutics’ at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding. (Asalnya, istilah hermeneutika digunakan dalam bidang studi yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran kitab Injil. Selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, hermeneutika menjadi hermeneutika umum oleh filosof dan teolog Protestan, Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher telah menyulap hermeneutika menjadi bidang kajian kefilsafatan, dengan mengangkatnya dari kajian yang secara spesifik hanya membahas bidang yang berkaitan dengan agama menjadi kajian yang mempunyai perhatian lebih tinggi terhadap filsafat umum tentang bahasa dan pemahamannya).
Perubahan makna hermeneutika dari konteks teologi ke dalam konteks filsafat telah dibidani oleh filsuf Jerman, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Filosof Protestan inilah yang dianggap sebagai pendiri hermeneutika umum yang bisa diaplikasikan pada semua bidang kajian. Ketika hermeneutika itu telah menjadi subyek filsafat, lahirlah berbagai aliran pemikiran, yang menempatkan hermeneutika Schleiermacher hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutika Schleiermacher, ada Hermeneutics of Betti yang digagas oleh Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; adaHermeneutics of Hirsch yang digagas oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada juga Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang filsuf dan ahli bahasa; serta aliran-aliran hermeneutika yang lain, seperti Hermeneutics of Dilthey, yang digagas oleh Dilthey (m. 1911), dan Hermeneutics of Heidegger, yang digagas oleh Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.


Dalam konteks yang lebih ekstrem, filsafat hermeneutika telah memasuki wilayah epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist (orang yang pandangannya tersesat), yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Filsafat hermeneutika berakhir dengan kesimpulan umum, bahwa all understanding is interpretation, semua pemahaman itu hanyalah penafsiran, dan karenanya bergantung pada subyektivitas orangnya. Pada titik inilah, A. Karim Sourosh, menurunkan teori al-qabdh wa al-basth (penyusutan dan pemuaian) interpretasi agama, yang menurutnya masih menjadi bagian dari teori interpretasi-epistemologis atau hermeneutika ini. Dengan teori ini, dia berkesimpulan, bahwa pemahaman agama bukanlah agama itu sendiri. Pemahaman agama itu subyektif, bisa mengalami perkembangan dan penyusutan, sementara agama tidak.[2]
Hermeneutika sebagai Interpretasi-Epistemologis
Untuk memperjelas lingkup kajian dan pengaruh hermeneutika serta mengapa metode ini digunakan untuk menginterpretasikan al-Quran, fakta hermeneutika—meminjam istilah A. Karim Souroshsebagai interpretasi-epistemologis harus dipahami. Interpretasi-epistemologis adalah penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema. Epistema—bahasa Yunani Kunonya, epistémé, atau bahasa Inggrisnya, epistemic—adalah teori pengetahuan tentang: (a) asal-usul; (b) anggapan; (c) karakter; (d) rentang; (e) kecermatan, kebenaran, atau keabsahan pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang mengkaji pengetahuan: darimana asal-usulnya, bagaimana perumusannya, serta bagaimana pengetahuan tersebut diekspresikan dan dikomunikasikan. [3] Metode inilah yang digunakan A. Karim Sourosh dalam bukunya, Reason, Freedom and Democracy in Islam (2000),sebagaimana sebelumnya juga digunakan oleh Arkoun dalam Rethinking Islam, atau apa yang dibahasaarabkannya dengan, Kayfa Na‘qilu al-Islâm (Bagaimana Kita Memahami Islam), dan dalam artikel, “Bagaimana Membaca al-Qur’an?”[4] Metode yang sama juga digunakan oleh komunitas Islam Liberal.
Dalam konteks al-Quran, metode hermeneutika atau—meminjam istilah Arkoun—metode interpretasi-epistemologis baru digunakan untuk mengkaji asal-usul wahyu atau kalam Allah dan al-Quran. Diakui, bahwa wahyu itu berasal dari Tuhan. Hanya saja, menurut Arkoun, wahyu Tuhan itu tak terbatas.[5] Untuk melengkapi data historisnya, dia—yang memang sarjana sastra Arab itu—kemudian menggunakan teori linguistik untuk membuktikan kesimpulannya. Dari sanalah, Arkoun, yang dipengaruhi pandangan Paul Ricoeur yang populer dengan bukunya, The Rule of Metaphor (1977), kemudian memilah tahap-tahap: Kalam Allah (KL), Wacana Qurani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT), dan Korpus Tertafsir (KT). Menurutnya, wahyu atau Kalam Allah sebagai logos (pengetahuan) tidak terbatas. Namun, ketika kalam itu disampaikan kepada Nabi, untuk disampaikan kepada umatnya, itu hanyalah penggalan dari kalam Allah yang tak terbatas. Dari sinilah muncul pemilahan wahyu verbal (dilisankan) dan non-verbal. Dengan menggunakan teori yang sama, Arkoun berkesimpulan, bahwa Wacana al-Quran (WQ) telah direduksi menjadi Corpus officiel clos (korpus resmi tertutup), yang menurutnya, karena faktor sosial dan political will, bukan karena kehendak tuhan.[6] Setelah menjadi Corpus officiel clos, yang kini dibukukan dalam Mushaf Utsmani, umumnya pemahaman kaum Muslim dibentuk melalui Corpus officiel clos ini, bukan dengan Wacana al-Quran yang pertama (WQ). Dari sinilah lahir Korpus Tertafsir (KT), yang berupa kitab-kitab tafsir.
Dengan epistema ini, keabsahan al-Quran sebagai sumber otoritatif digugat. Melalui pendekatan sosio-historis dan linguistik, Arkoun berkesimpulan, bahwa al-Quran is subject to historicity (tunduk pada sejarah),[7] dan karenanya harus didekonstruksi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Hal senada dikemukan oleh Fazlur Rahman yang mengklaim, bahwa al-Quran adalah both the Word of God and the word of Muhammad(Kompilasi Kata Allah dan kata Muhammad);[8] juga oleh Nashr Abu Zayd yang mengklaim bahwa al-Quran adalah produk budaya. Metode yang sama juga digunakan Arkoun untuk menggugat otoritas dan keabsahan tafsir al-Quran:
Saya tidak mengatakan bahwa al-Quran tidak relevan… Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha’ untuk menafsirkan al-Quran tidak relevan. Sebab, sekarang ilmu baru, seperti antropologi, tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[9]
Dengan epistema yang sama, yakni berdasarkan karakter teksnya, al-Quran yang berbahasa Arab, dianggap mempunyai persamaan dengan teks-teks sastra atau kitab suci lainnya. Dari sinilah Arkoun menurunkan metode tafsirnya:
Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab”. Untuk itu, kami mengajak pembaca untuk membaca al-Quran menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan pada semua teks doktrinal besar.[10]
Lebih jauh, teori pembacaan Arkoun ini dijabarkan melalui tiga momen, yaitu momen linguistik, antropologis, dan historis. Dengan momen linguistik, kata (lafadz al-Quran) dibaca sebagai tanda (dilâl); dengan momen antropoligis, kata yang sama dibaca sebagai simbol (isyârah), atau analisis mistis; dan[11] dengan momen historis, batas-batas tafsir logiko-leksikografis (logika perkamusan), atau teks dan konteks, dikembangkan dengan apa yang disebutnya dengan tafsir imajiner.[12]
Singkatnya, hermeneutika—sebagaimana klaim mereka—bisa memadukan subyektivitas dan obyektivitas. Konon, karena itulah metode ini mereka gunakan.
Kebobrokan Tafsir Hermeneutika
Untuk membuktikan kebobrokan tafsir hermenutika atau interpretasi-epistemologis ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan kerangka epistema, seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu, yang telah tereduksi menjadi Corpus officiel clos itu. Dengan teori linguistik, mereka menyusun tahap wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu, meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktik pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem besar, hermeneutic circle.[13]
Realitas ini tidak dihadapi umat Islam. Umat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti umat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, otentisitas al-Quran dan Hadis Nabi bisa dibuktikan. Dengan ilmu ini, riwayatahad dan mutawâtir bisa diuji. Dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Quran dan tidak bisa dibuktikan, serta dengannya pula, historitas tanzîl atau asbâb an-nuzûl—dan juga asbâb al-wurûd—bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzîl atau Makki dan Madani; bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan al-Quran itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematiskan oleh para ulama dalam kajian ‘Ulûm al-Qur’ân.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sejarah yang melatarbelakangi lahirnya hermeneutika adalah sejarah pemalsuan kitab suci dan monopoli penafsiran pihak gereja. Anggapan inilah yang telah melahirkan hermeneutika sebagai kaidah interpretasi-epistemologis. Anggapan seperti ini sama sekali tidak terlintas dalam kepala umat Islam. Baru setelah abad ke-20, anggapan ini dikembangkan oleh kaum terpelajar Muslim yang belajar di Barat sehingga seakan-akan umat Islam menghadapi persoalan dengan kitab suci mereka, seperti yang dihadapi umat lain. Muncullah Fazlur Rahman dan Arkoun, disusul Nashr Abû Zayd dan lain-lain, yang mengusung teori hermeneutika ini sebagai metode tafsir al-Quran.
Dengan dalih obyektivitas, hermeneutika—sebagai interpretasi-epistemologis—telah menolak semua anggapan untuk membangun kesimpulannya. Akan tetapi, kenyataannya anggapan itu tidak pernah bisa dielakkan. Inilah yang kemudian mereka sebut dengan problem besar,hermeneutic circle (lingkaran setan tafsiran) itu. Ini sekaligus menunjukkan kesalahan teori ini sebagai metode berpikir. Dengan dalih obyektivitas, semua anggapan dibuang, padahal obyek kajian yang dihadapi bukanlah realitas empiris yang bisa diuji dengan kaidah eksperimental layaknya obyek kajian ilmiah. Kesalahan inilah yang menyebabkan kesalahan-kesalahan berikutnya, termasuk ketika teori ini digunakan untuk menafsirkan al-Quran.
Padahal, al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab[14] untuk menjelaskan kepada umat manusia[15] tentang apa saja ihwal kehidupan mereka.[16] Kitab ini telah diturunkan secara mutawâtir dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan—tepatnya realitas—yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Quran sebagai kajian yang berusaha menjelaskan makna-makna yang digali dari ungkapan-ungkapan kitab suci tersebut.[17] Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldun menyatakan, bahwa tafsir al-Quran merupakan bagian dari al-‘ulûm an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada informasi dari Pembuat syariat.[18]
Karena bidang tafsir adalah makna ungkapan al-Quran, sementara al-Quran sendiri adalah kitab at-tasyrî‘ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut, bahasa dan syariat. Dari sinilah, Ibn Khaldun membagi tafsir menjadi dua:tafsîr naqlî, atau yang kini populer dengan istilah tafsîr bi al-ma’tsûr, dan tafsîr yarjî’ ilâ al-lisân,atau—meminjam istilah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani—tafsîr bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nâsikh-mansûkhasbâb an-nuzûl, dan maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab,i‘râb, dan balâghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Quran.[19] Kedua jenis tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir, baik yang bersumber dari sumber syariat maupun bahasa. Hanya dua model tafsir inilah yang diterima oleh para ulama sebagai tafsir yang representatif dan obyektif. Adapun tafsîr isyârî atau tafsîr ‘irfâni, tafsir yang dibangun berdasarkan pembacaan simbolis dan mistis (seperti yang digagas oleh kaum Sufi) atau tafsir imaginer (seperti yang digagas Arkoun) adalah tafsir yang dianggap tidak obyektifSebab, tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal atau pengalaman esoteris (batin) pembacanya.
Dengan kata lain, obyektivitas tafsir al-Quran itu ditentukan oleh tunduk dan tidaknya akal dalam melakukan pembacaan terhadap teks berdasarkan kedua sumber tersebut. Karena akal hanya berfungsi untuk memahami, maka dikatakan obyektif, jika tafsiran akal tunduk pada kedua sumber—syariat dan bahasa—tersebut. Jika akal tidak tunduk pada kedua sumber tersebut, berarti al-Quran—seperti yang dituduhkan Arkoun—hanya menjadi alat justifikasi. Justru inilah yang menyandera tafsir hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash Abû Zayd, dan kawan-kawannya.[20] Di sinilah letak persoalan metode tafsir hermeneutika yang mereka kembangkan, ketika anggapan-anggapan dasar yang seharusnya digunakan dalam menafsirkan al-Quran semuanya dibuang, seperti akidah dan syariat Islam, misalnya. Justru anggapan-anggapan kufur sengaja dikembangkan dan menjadi asumsi dasar tafsir hermeneutika mereka, misalnya: al-Quran adalah produk budaya; al-Quran adalah kompilasi kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Quran sudah tereduksi menjadi korpus resmi tertutup, dan karenanya harus didekonstruksi. Akibatnya, apa saja yang berbau syariat harus dibuang demi—apa yang mereka klaim sebagai—obyektivitas.
Walhasil, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Quran itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafazh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir. Akan tetapi, teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar‘iyyah, seperti kata al-jihâd, as-shalâh, dan sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Quran, yakni ketika kata tersebut telah direposisi oleh sumber syariat dari makna bahasa menjadi makna syariat. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar‘iyyah, kedua kata tersebut tetap diartikan sebagaihaqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh. Tidak dimasukkannya—atau lebih tepat ditolaknya—keberadaan haqîqah syar‘iyyah dalam teori hermeneutika adalah karena teori ini lahir bukan dari teks syariat.
Dengan kerangka epistema seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh nâsikh-mansûkh, atau penggunaan teks di luar konteks historisitasnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh[i] la bi khushûs[i] as-sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syariat. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah di-nasakhdianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imran (03): 130, yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah di-nasakh dengan surat al-Baqarah (02): 278. Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamer, sehingga baik riba maupun khamer menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika. Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] surat al-Ma’idah (05): 38, yang muthlaq kemudian di-taqyîd dengan hadis: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.
Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Inilah yang mereka akui sendiri atau seperti yang mereka sebut dengan hermeneutic circle. Masalah ini terjadi karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berpikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berpikir rasional tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Jadi, kebobrokan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kebobrokan metode berpikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kebobrokan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi; seperti membangun obyektivitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektivitas kontemplatif dan imajiner. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syariat ini tidak cukup untuk membaca teks al-Quran yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyrî‘. Artinya, pemaksaan al-Quran hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyrî‘, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Quran agar bisa didekati dengan teori yang miskin ini.
Kesimpulan
Secara epistemologis, hermeneutika—sebagai teori interpretasi-epistemologis—bukan dari Islam, tetapi merupakan produk tsaqâfah Barat; pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam. Sebagai metode berpikir, hermeneutika justru mengalami kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang notabene dibutuhkan oleh sebuah metode berpikir rasional seperti ini. Sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir hermeneutika juga hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Quran jika dibangun berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Quran, seperti anggapan bahwa al-Quran hanyalah produk budaya; al-Quran itu tunduk pada sejarah; al-Quran itu kompilasi kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Quran—karena kehendak sejarah, bukan karena perintah Tuhan—telah direduksi menjadi Corpus officiel clos. Dari sinilah, lahir tahap-tahap pewahyuan Arkoun, yang dipengaruhi oleh pandangan Paul Ricoeur itu. Begitu juga ketika al-Quran hanya dianggap sebagai kitab sastra Arab, dan bukan kitab tasyrî‘, maka keterbatasan hermeneutika itupun bisa digunakan untuk menjamah kitab suci ini. Namun, jika anggapan terhadap al-Quran itu benar, teori epistema seperti ini pasti tidak mempunyai tempat di sisi al-Quran yang mulia itu.
Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semua itu dimaksud untuk melakukan sinkretisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani, dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan kekufuran. []

[1] Lihat: Makalah Dr. Ugi Suharto, Peneliti INSIST, dosen di ISTAC-UIA Kuala Lumpur, yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional di UMY, tanggal 10/04/2003.
[2] Abdul Karim Sourosh, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan, Bandung, cet. I, 2002, hlm. 41-47.
[3] Lihat: Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, ed. Romo Philipus Tule, SVD, pengantar Jalaluddin Rakhmat, Rosda Karya, Bandung, cet. I, 1995, hlm. 96-97.
[4] Mohammad Arkoun, Rethinking Islam, ed. Charles Kurzman dalam Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, cet. I, 2001, hlm. 336-337, dan 338.
[5] Lihat: Cecep Ramli Bihar Anwar, “Mohammad Arkoun: Cara Membaca al-Qur’an,” dalam website: www.Islamlib.id. Di sini, Arkoun menggunakan al-Quran surat Luqman (31): 27.
[6] St. Sunardi, “Membaca Qur’an bersama…,” dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, LkiS, Yogyakarta, 1996, hlm. 64.
[7] Lihat: Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression, Oxford, Oneworld, 1997, hlm. 69.
[8] Lihat, Dr. Ugi Suharto, Op. cit.
[9] Muhammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam,” dalam Ulumul Qur’an, nomor 7, vol. II 1990, hlm. 85.
[10] Muhammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, INIS, Jakarta, 1997, hal. 50.
[11] Ini sejenis pengetahuan irfan, yang dikembangkan oleh ahli tasawuf. Mungkin karena latar belakang yang berbeda, Sourosh tidak menggunakan istilah simbol, melainkan irfan.
[12] Lihat: Cecep Ramli Bihar Anwar, Op. cit. Lihat juga: Arkoun, Rethinking Islam, Op. cit., hlm. 364 dan seterusnya.
[13] Hermeneutic circle (lingkaran hermeneutika) adalah sejenis lingkaran setan pemahaman obyek-obyek sejarah yang mengatakan, bahwa jika interpretasi itu sendiri berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan. Lihat, Dr. Ugi Suharto, Op. cit.
[14] QS as-Syu’ara’ [26]: 195.
[15] QS Ali ‘Imran [03]: 138.
[16] QS an-Nahl [16]: 44.
[17] Ibn Khaldûn, Muqaddimah, Dâr al-Jîl, Beirut, t.t., hlm. 483.
[18] Ibid, hlm. 482 dan seterusnya.
[19] Ibid, hlm. 484-488.
[20] Inilah yang disebut oleh Hadis Nabi sebagai: fassara al-Qur’an[a] bi ra’yih[i] (orang yang menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya). Lihat: HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurayrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar