Pertama-tama perlu diketahui bahwa ahlus sunnah wal jama’ah salafush
shalih rahimahumullah adalah generasi yang menerima seluruh apa yang
datang berupa dalil yang shohih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka
adalah orang-orang yang mengilmui dan meyakini serta mengamalkan
ilmunya. Mereka berjalan diatas jalan kitabullah dan sunnah yang shohih
tanpa membeda-bedakan antara hadits yang mutawatir maupun hadits ahad,
menerima setiap dalil yang jelas keshohihannya, maka sepatutnyalah untuk
menempuh jalan mereka.
Kitab-kitab salafush shalih dari
dulu hingga sekarang, terkumpul padanya prinsip-prinsip seperti
disebutkan diatas, dan tidaklah tersembunyi yang demikian itu bagi
setiap orang yang membacanya, maka setiap apa yang diatas prinsip
tersebut kita pegang erat, dan apa yang menyelisihinya kita tolak.
Adapun
prinsip orang-orang belakangan yang tidak menempuh jalan mereka
(salafush shalih) dari kalangan ahli bid’ah dan ahli hawa, tempat
rujukan mereka dalam berhukum adalah akal. Maka setiap apa yang
mencocoki akal mereka terima. Pertama-tama mereka menyandarkan pada
akal, maka apabila akal tersebut mencocoki syariat, menjadi senanglah
mereka, namun setiap perkara yang menyelisihi akal-akal mereka
adakalanya mereka tolak adakalanya mereka palingkan maknanya dari makna
aslinya, walupun hal yang menyelisihi akal mereka tersebut mencocoki
syariat.
Maka sandaran mereka adalah akal. Misal yang
demikian itu kita sebutkan dua permisalahan dari sebagian sejarah
mereka. Agar pembaca mengetahui kebenaran apa yang telah kami sebutkan
diatas:
Contoh pertama :
Disebutkan oleh Al Khotib
Al Bahgdadi didalam (تاريخ ) Tarikh (172/12) dan Al Imam Adz Dhahabi
didalam Siyar Nubala (104/6) dan Imam Ibnu Katsir didalam Al Bidayah wa
An Nihayah (79/10)
Bahwasanya Amr bin ‘Ubaid salah seorang gembong Mu’tazilah, ketika mendengar hadits Abdullah bin Mas’ud :
حدثني الصادق المصدوق : (أن أحدكم يجمع خلقه……) الحديث
Berkata
Amr bin ‘Ubaid : “Seandainya aku mendengar A’masy [1] mengatakan hadits
tersebut kepadaku sungguh aku akan mendustakannya, seandainya aku
mendengar Ibnu Wahab[2] mengatakan hal tersebut aku tidak akan
menjawabnya, seandainya aku mendengar Abdullah bin Mas’ud mengatakan
hadits itu pula, aku akan mengatakannya ‘yang seperti ini aku tidak akan
menerimanya’, dan seandainya aku mendengar langsung Rasulullah
mengatakan hadits ini kepadaku aku akan membantahnya, dan seandainya aku
mendengar langsung Allah ta’ala mengatakannya kepadaku, sungguh akan
kukatakan kepada-Nya : “bukan diatas ini Engkau mengambil perjanjian
dengan kami”
Berkata Imam Ibnu Katsir : “ucapan ini,
adalah sekeji-keji ucapan kekafiran, semoga laknat Allah ditimpakan
kepada orang yang mengucapkan hal yang demikian itu.”
Contoh kedua :
Dan
yang lebih parah lagi dari hal di atas adalah ucapan Jahm bin Sofwan,
ketika dia membaca Al-Qur’an surat Toha dan mushaf al-qur’an disandarkan
diatas batu yang dia gunakan sebagai meja, maka ketika sampai pada ayat
:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
” (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang berada tinggi di atas ‘Arsy.” (Thoha 5)
Berkatalah
dia (Jahm bin Sofwan] : ” seandainya aku menemukan jalan untuk
menghapus ayat ini, benar-benar aku akan melakukannya. Kemudian ketika
dia membaca surat al-qosos ketika dia melewati ayat yang padanya
terdapat penyebutan kisah nabi musa alihi salam, maka dia melempar dan
menendang mushaf al-qur’an dari tempat dia membaca, sambil mengatakan
“apa-apaan ini dikisahkan disini (di al-quran] dan tidak disempurnakan
kisahnya. (Disebutkan kisah ini oleh Ibnu Abi Hatim di dalam As-Sunnah,
Imam Adz-Dzahabi di dalam Al-’Uluw, dan Imam Bukhari dalam kitab Kholaqo
af’alil ‘ibad hal.128-129)
Kaidah dasar pertama :
* Wajib memahami Asma’ wa Sifat Allah dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Wajib
memahami dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas dhohirnya
(lafadz kontekstual) tanpa merubah makna kontekstual yang tertera pada
Al-Qu’ran dan As-Sunnah, karena Allahmenurunkan Al-Qur’an dan
menjelaskannya dalam bahasa arab, dan Nabi berbicara dengan menggunakan
bahasa arab. Maka wajib untuk menetapkan dalil-dalil dari perkataan
Allah dan perkataan Rasul-Nya diatas bahasa arab yang mana Allah telah
menurunkan kitab-Nya dengan bahasa tersebut dan Rasul-Nya pun
menjelaskan Al-Qur’an dengan bahasa tersebut. Kenapa demikian ???
dikarenakan merubah makna ayat atau dalil dari maknanya yang asli
(kontekstual) adalah sebuah perkataan tentang Allah tanpa latar belakang
ilmu, dan hal tersebut HAROM.. sebagaimana Allah berfirman :
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku Hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) bagi kalian membicarakan
tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raaf 33)
Misal yang demikian itu adalah tentang firman Allah berikut ini:
وَقَالَتِ
الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا
بِمَا قَالُوا ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ
وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
طُغْيَانًا وَكُفْرًا ۚ وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ
وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا
لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ ۚ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا ۚ
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Orang-orang Yahudi berkata:
“Tangan Allah terbelenggu“, Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu
dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan
itu. (Tidak demikian), bahkan kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi
nafkah (kepada hamba-hambanya) sebagaimana Dia kehendaki.” (Al Maidah
64)
Pada dhohir ayat diatas (secara kontekstual) Allah
mengkhabarkan kepada kita bahwasanya Dia mempunyai kedua tangan secara
hakiki, maka wajib kita menetapkan yang demikian itu secara dhohir
lafadznya.
Apabila ada yang mengartikan atau memalingkan
makna “tangan” pada ayat tersebut dengan arti “kekuatan” atau
“kekuasaan” atau “kenikmatan”, Maka kita katakan kepada mereka : “itu
adalah pemalingan makna dari makna dhohirnya (sebagaimana tertulis
secara nash), maka tidak boleh yang demikian itu dilakukan. Karena hal
tersebut merupakan sebuah perkataan tentang Allah dengan sesuatu yang
tidak ada dasar ilmu padanya.
Dalil atas hal tersebut adalah firman Allah :
وَإِنَّهُ
لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِين نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِين عَلَىٰ
قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينَ
Dan
Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
Alam, dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, Dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy Syuara’ 192-195)
Dan
secara akal, bahwasanya Dzat yang berbicara pada nash diatas lebih
mengetahui tentang maksud makna nash-nash yang ada daripada siapapun
juga, dan juga bahwasanya Dzat yang berbicara pada ayat diatas berbicara
menggunakan bahasa arab yang telah jelas maknanya, maka wajib yang
demikian itu kita menerimanya sebagaimana dhohir (tekstual) yang
termaktub.[3]
Kaidah Dasar Kedua
Berkaitan dengan nama-nama Allah
* Nama-nama Allah seluruhnya adalah baik/bagus
Nama-nama
Allah seluruhnya adalah baik/bagus : yaitu berada pada puncak / derajat
tertinggi dalam kebaikannya/kebagusannya secara mutlak. Dikarenakan
padanya terkandung kesempurnaan bagi sifat-sifatnya, yang tidak ada
satupun kekurangan padanya dari berbagai sisi. Sebagaimana firmannya :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna (nama-nama yang baik)” (Al A’raaf 180)
Dan
misal yang demikian itu : Ar-Rahman, yang merupakan nama dari nama-nama
Allah, yang menunjukkan atas sebuah makna dan sifat yang agung yaitu
Rahmat yang Luas.[4]
* Nama-nama Allah tidak terbatas pada bilangan tertentu
Sebagaimana Rasulullah bersabda didalam hadits yang masyhur :
أسألك اللهم بكل اسم هو لك, سميت به نفسك, أو أنزلته في كتابك, أو علمته أحدا من خلق أو استأثرت به في علم الغيب عندك. (أخرجه أحمد
“aku
memohon kepada-Mu Yaa Allah dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamai
diri-Mu sendiri dengannya, atau yang engkau telah menurunkannya didalam
kitab-Mu, atau yang telah engkau ajarkan kepada salah satu dari makhluk
ciptaan-Mu, atau yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya”.
(Shohih, HR. Ahmad)
dan adapun nama-namaNya yang hanya
Allah sajalah yang mengetahuinya maka tidaklah mungkin kita meliputi
ilmuNya dan tidaklah mungkin kita dapat mengetahui semuanya.
Dan bagaimanakah menyatukan antara hadits diatas dan hadits shohih berikut ini, yang seolah-olah bertentangan
إن لله تسعة و تسعين اسما من أحصاها دخل الجنة
Sesungguhnya Allah memiliki 99 (sembilan pulh sembilan) nama barang siapa menghafalnya maka dia akan masuk surga.
Makna
hadits diatas adalah bahwasanya diantara nama-nama Allah berjumlah 99
(sembilan puluh sembilan) nama yang barang siapa menghafalnya maka dia
akan masuk surga, dan bukanlah maksudnya bahwa nama-nama Allah terbatasi
dengan jumlah tersebut, dan misal yang demikian tersebut : engkau
mempunyai uang 1 (satu) juta yang engkau sediakan untuk shodaqoh, maka
hal itu tidaklah menafikan bahwasanya engkau memiliki uang yang lain
yang akan engkau pergunakan untuk keperluan yang lain.
• Nama-nama Allah tidaklah dapat ditetapkan dengan akal, akan tetapi penetapannya adalah ditentukan oleh syariat.
Penetapan
nama-nama bagi Allah adalah perkara tauqifiy (perkara yang ditentukan
oleh syari’at), maka kita menetapkannya sesuai dengan apa yang datang
dari syari’at dan tidaklah kita menambah-nambahnya, atau menguranginya.
Dikarenakan akal tidaklah mungkin mengetahui seluruh apa yang berhak
dinisbahkan kepada Allah berupa nama-nama. Maka wajib berhenti sebatas
yang dijelaskan oleh syari’at, dikarenakan penamaan terhadap Allah
dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menamai diri-Nya atau
mengingkari apa yang Allah telah menamai dirinya dengan nama tersebut
adalah sebuah kejahatan didalam hak Allah, maka sepatutnyalah menempuh
adab yang baik dalam perkara tersebut.
• Ø Seluruh nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat Allah, dan sifat-sifat-Nya.
Tidaklah
sempurna keimanan kepada nama-nama Allah melainkan dengan menetapkan
nama-nama Allah secara keseluruhan (tanpa memalingkan maknanya ataupun
mengingkarinya).
Kaidah dasar ketiga
* Sifat-sifat Allah seluruhnya terkandung padanya ketinggian dan keagungan
Seperti
sifat maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar, maha
melihat, maha bijaksana, maha penyanyang, maha tinggi, dan selainnya,
dan yang demikian itu Allah tetapkan didalam firmanNya :
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
”
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai
sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan
Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An Nahl 60)
Oleh
karena Allah Maha Sempurna maka wajib untuk meyakini akan kesempurnaan
sifat-sifatNya. Dan tidak layak disandarkan padaNya berupa sifat-sifat
yang menunjukkan kekurangan. Seperti mati, tidak mengetahui, lemah,
tuli, buta, dan yang semisal dari itu yang menunjukkan makna kekurangan.
Dan Allah akan memberikan hukuman kepada orang-orang yang mensifati-Nya
dengan sifat-sifat kekurangan. Allah telah mensucikan diriNya sendiri
dari sifat-sifat kekurangan. Oleh karena itu tidaklah mungkin Allah
disifati dengan sifat kurang.
Dan jika disana terdapat
sifat kesempurnaan di satu sisi, dan sifat kurang di satu sisi, tidaklah
kita menetapkannya tidak pula kita mengingkarinya secara mutlak, namun
seharusnya bagi kita untuk merinci permasalahan tersebut, maka kita
menetapkan dua sifat diatas sesuai keadaan yang menunjukkan kepada makna
kesempurnaan, dan mengingkari sifat kurang (naqis) jika keadaan tidak
menunjukkan kepada makna kesempurnaan.
Seperti sifat
makar, tipuan muslihat, atau yang semisalnya, maka sifat-sifat seperti
ini akan menunjukkan makna sifat kesempurnaan jika dihadapkan kepada
hambanya yang berhak untuk mendapatkan sifat makar dan menipu.
Sebagaimana firman Allah:
وَإِذْ
يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ
يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ
الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy)
memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah
menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.
(Al Anfal 30)
إنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا وَأَكِيدُ كَيْدًا
“Sesungguhnya
orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan
sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat tipu daya (pula) dengan
sebenar-benarnya.” (Ath Thariq 15-16)
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka (dengan tipuan pula) “. (An Nisa 142)
Lalu Apakah Allah disifati dengan sifat makar ????##
Jawabnya
: kita tidak mengatakan iya, juga tidak mengatakan tidak, namun kita
katakan bahwa Allah mengadakan makar bagi hambanya yang berhak untuk
mendapat makar dariNya.
* Sifat Allah terbagi menjadi dua :
1.
Sifat Tsubutiah (Sifat yang tetap) : Seluruh sifat yang Allah telah
menetapkan bagi diriNya sendiri seperti sifat maha hidup, maha
mengetahui, maha kuasa, dsb. Maka yang demikian itu wajib bagi kita
untuk menetapkan sifat-sifat tersebut bagi Allah sesuai hakNya.
Dikarenakan Allah sendiri telah menetapkan sifat-sifat tersebut pada
diriNya. Dan Dia lebih mengetahui tentang sifat-sifatNya sendiri.
2.
Sifat Silbiyah (Sifat Negatif) : Seluruh sifat yang Allah telah
menafikannya bagi diriNya, seperti sifat dholim. Maka wajib bagi kita
untuk menafikan sifat tersebut dari Allah, dikarenakan Allah sendiri
telah menafikannya bagi diriNya. Akan tetapi kita menafikan sifat
tersebut disertai dengan menetapkan lawan dari sifat tersebut, misal :
kita menafikan sifat dholim maka tidaklah sempurna penafian tersebut
melainkan dengan disertai penetapan kebalikan dari sifat dholim yaitu
sifat Adil.
Misal yang demikian diatas adalah firman Allah:
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“dan Tuhanmu tidak mendholimi seorang juapun“. (Al Kahfi 49)
Dengan
demikian wajiblah bagi kita untuk menafikan sifat dholim bagi Allah
bersamaan dengan itu kita menetapkan sifat adil bagi Allah secara
sempurna.
Sifat Tsubutiyah terbagi menjadi dua :
1.
Sifat Dzatiyah (yang berkaitan dengan dzat Allah) : yaitu sifat yang
Allah senantiasa disifati dengannya, seperti Maha Mendengar, dan Maha
Melihat.
2. Sifat Fi’liyah (yang berkaitan dengan
perbuatan Allah) : yaitu sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah,
jika Allah menghendaki maka Allah akan melakukannya, jka tidak
menghendaki maka Allah tidak melakukannya, seperti keberadaanNya diatas
Arsy-Nya atau turun ke langit dunia, semua itu sesuai dengan kehendak
Allah sendiri terhadap diriNya.
3. terkadang tercakup
padanya sifat Dzatiyah dan Fi’liyah secara bersamaan, seperti sifat
berbicara, secara dzat Allah disifati dengan sifat berbicara namun Allah
juga tidak senantiasa berbicara, dikarenakan sifat bicara terkait
dengan kehendak Allah, jika Allah menghendaki akan melakukannya, jika
tidak maka Allah tidak melakukannya..
* setiap sifat dari sifat-sifat Allah, dihadapkan pada tiga pertanyaan :
1. Pertanyaan pertama : Apakah sifat-sifat tersebut menunjukkan kepada makna yang hakiki. Dan kenapa ?
2.
Pertanyaan kedua : Apakah boleh bagi kita membagaimanakan sifat-sifat
tersebut (menanyakan bagaimanakah sifat-sifat tersebut). Dan kenapa ?
3. Pertanyaan ketiga : Apakah sifat-sifat Allah diserupakan dengan sifat-sifat makhluk, dan kenapa ?
Jawaban pertanyaan pertama :
Ya,
sifat-sifat Allah adalah menunjukkan atas makna hakiki (yang
sebenarnya), dikarenakan sebuah kalam pada asalnya menunjukkan makna
secara hakiki, tidaklah dipalingkan dari maknanya kecuali ada dalil yang
shohih yang mencegah dari pengartian makna secara hakiki.
misal :
sifat tangan bagi Allah, maka kata tangan disini menunjukkan kepada
makna tangan yang sebenarnya secara hakiki, tidak mungkin kita palingkan
makna tangan kepada makna kekuasaan melainkan jika terdapat dalil
shohih yang menjelaskannya, adapun bagaimanakah tangan Allah kita
katakan Allahu a’lam, kita tetapkan secara makna namun kita tidak
menetapkan secara kaifiyahnya (wujudnya). Dikarenakan Allah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
” tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (As Syuraa 11).
Pada
ayat diatas Allah menyatakan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang
serupa denganNya, disamping itu pula Allahmenetapkan sifat mendengar dan
melihat bagi diriNya, lalu apakah kita akan memalingkan makna
“mendengar” dan “melihat” kepada makna yang lain? dikarenakan
makhluk-makhluknya pun mempunyai sifat mendengar dan melihat, lalu
apakah kita katakan bahwa sifat Allah seperti sifat makhlukNya, tentu
tidak. Namun kita katakan sifat Allah padanya terkandung kesempurnaan
yang berbeda dengan sifat makhluknya.
Aqidah Ahlus Sunnah
dalam hal Asma’ dan Sifat adalah menetapkan secara makna namun
menyerahkan kepada Allah tentang kaifiyahnya (wujud bentuknya).
Jawaban pertanyaan kedua :
tidak boleh bagi siapapun untuk membagaimanakan ( takyif ) sifat-sifat Allah, dikarenakan Allah berfirman :
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
“Dia
mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang
mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thoha 110).
Dikarenakan akal tidaklah mungkin dapat mengetahui bagaimanakah sifat-sifat Allah
Jawaban pertanyaan ketiga :
Tidaklah sifat-sifat Allah diserupakan dengan sifat-sifat makhlukNya dikarenakan Allah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
” tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (As Syuraa 11)
Dikarenakan
pada sifat-sifat Allah terkandung padanya puncak kesempurnaan, maka
tidaklah mungkin diserupakan dengan makhluk sedangkan makhluk memiliki
kekurangan.
Takyif : menghayal / membayangkan tentang
salah satu sifat Allah seperti misalnya membanyangkan bentuk tangan
Allah walaupun tanpa memisalkan dengan tangan satu makhluk pun. Maka ini
sama saja, tidak boleh.
Kaidah Dasar Keempat
Kaidah
umum sebagai bantahan kepada mereka para penyimpang, kita katakan ”
sesungguhnya perkataan mereka itu menyelisihi dhohir makna nash yang ada
(kontekstual), dan menyelisihi jalan yang ditempuh oleh para imam
salaf, para sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in, serta para imam yang
mengikuti sunnah rasul, dan mereka ahlu menyimpang tidak satupun dari
mereka yang bersandar kepada dalil yang shohih.
Sumber : Lum’atul I’tiqod – Imam Ibnu Qudamah / syarah Syaikh Utsaimin
Aqidah Wasithiyah – Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah / Ta’liq Asy Syaikh Abul ‘Abbas Yasin Al-Adani
http://jejakrusul.wordpress.com/2010/07/03/kaidah-kaidah-dasar-yang-wajib-diperhatikan-di-dalam-memahami-tauhid-asma-wa-sifat-2/#more-12
________________________________________
[1] Guru dari Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Sufyan Al Uyainah , Imam ibnul Mubarak, Imam Syu’bah
[2] Murid besar Imam Malik rahimahullah
[3]
(maka hendaknya merujuk kepada kitab بدائع الفواعد (Kitab Badai’ Al
Fawaid) karya Imam Ibnul Qoyyim Al Jauzi (168 / 1) untuk pembahasan
lebih luas.
[4] Lihat Madarij As-Salikin (33/1) karya Ibnul Qoyyim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar